Minggu, 13 Februari 2011

Ahmadiyah: Dari Sisi Lain


Bagi mereka yang memperjuangkan HAM: (Bukan berarti Hak Asasi yang tanpa aturan). Mereka berpegang pada alasan amanat Konstitusi, yakni, kebebasan beragama. Ini benar. Berarti kepada setiap individu diberikan kebebasan memilih agama mereka, apakah Islam, Kristen, Hindu, Budha atau bahkan lainnya, dan diberi kebebasan dalam menjalankan yang tentu harus sesuai dengan aturan Agama itu sendiri sebagaimana dalam Islam: Lakum dinukum waliyadiin, untukmu agamu, dan untuku agamaku. Juga jelas, bukan merusak agama yang telah dipilihnya itu. Dalam Islam, pedomannya jelas Al-Qur'an dan Hadist. Bila terjadi perselisihan, karena mungkin ada yang belum termuat secara kongkrit dalam Qur'an, maka hadistlah pegangannya. Tapi bila sudah jelas ada tertuang dalam Qur'an, lalu dengan sengaja merubah-rubah, apa namanya kalau bukan kesesatan? Sebagaimana telah dijelaskan dalam Qur'an, bahwa nabi dan rosul terakhir sekaligus penutup adalah Muhamad saw. Tidak ada tertulis Mirza Ghulam Ahmad sebagaimana mereka katakan.
Mungkin saja terjadi, seseorang mengalami kesesatan. Tersesat di jalam misalnya.. tentu sebagai yang tahu atau mengerti akan memberitahukan jalan yang sebenarnya. Hal ini menjadi lain kalau ia yang tersesat, mulai mengajak dan mempengaruhi orang lain yang telah memiliki keyakinan yang sudah benar dan sesuai aturan. Inilah yang disebut sebagai PROVOKATOR sebenarnya.
Kembali pada pedoman tadi. Bila masih terjadi silang pendapat, karena tidak ditemukan penjelasan kongkrit dalam hadist, maka berpegangan pada pendapat para ulama. Bila masih terjadi silang pendapat, barulah berpegang pada akal. Tetapi hal yang paling mendasar, meskipun Ahmadiyah sama-sama mengucap syahadat, dan berpegang pada Al-Qur'an tetapi mereka merubah nabi dan rosul yang sudah jelas tertuang dalam Qur'an. Begitupun halnya dengan pelaksanaan tuntunan ibadah haji. Lokasi pelaksanaan bisa berubah bukan ditempat yang telah ditentukan dalam Qur'an. Jelas, ini kesesatan. Lalu, mengapa banyak pendapat seakan terbalik..?

MARI TINJAU DARI SISI POLITIK.

Meskipun belum terbukti, melihat dari rentetan kerusuhan yg ada, berkaitan masalah Ahmadiyah, sah sah saja kalau kemudian kita menduga.Sebagaimana diketahui, bahwa aksi-aksi demo/protes yg anarki, seringkali ada yg memprovokasi. Ini bisa dari mana saja. Bisa saja provokasi datang menunggangi pendemo, atau provokasi datang dari belakang sebuah kegiatan yg sengaja dikondisikan agar mendapat respon aksi demo. Hanya, apa kepentingannya?Polisi sudah menduga dan pembela HAM, juga sudah menggiring opini bahwa provokasi datang menunggangi aksi demo/protes. Padahal jelas, bisa juga datang dari belakang kegiatan Ahmadiyah itu sendiri, agar mendapat respon protes umat yg tinggal 'dibumbui' sedikit maka akan anarkis.1. Dari kepentingan politik orang/kelompok tertentu ini akan menggiring pada opini masyarakat bahwa pemerintah tidak/gagal melindungi yg menurut mereka minoritas. Agar kinerja pemerintah mendapat sorotan negatif, dan tentu ada yg berharap segera tidak terpilih lagi pada pemilu mendatang, meski mungkin tidak sampai pada tumbangnya kekuasaan segera.2. Sama dengan pertama, hanya saja tidak dilakukan oleh sekedar kelompok, tapi musuh2 negara, yg berharap keruntuhan sebuah negara besar, dgn potensi kekayaan melimpah, dgn cara2 yg lebih sistematis, pendanaan yg besar dan jaringan intelejen yg sangat kuat terorganisir.3. Sebagaimana yg pertama dan ke dua, hanya, telaah dari Islam itu sendiri, bahwa Alloh swt, telah mencipta Iblis terlaknat, yg berjanji menggoda manusia agar berpaling dari Tuhan, Alloh swt. Cara2 iblis, dengan menularkan sifat-sifatnya, keserakahan, juga kesesatan. Inilah yg dihembuska iblis tadi, baik kepada umat muslim sendiri atau umat lain yg bertujuan agar dapat sebanyak banyaknya teman bersama dalam neraka huthomah.Kesimpulan: Jika ingin memperjuangkan HAM dgn sungguh2, mohon perhatikan juga HAK kami dalam mempertahankan Aqidah kami yg kami yakini. Jangan kami saja yg dituntut menghargai dan menghormati yg lain. Kalau beselisih mari bersepakat. Perbedaan jelas ada, karena memang adalah rahmat Tuhan. Tetapi kita perlu memutuskan sebuah kesepakatan. Sebagaimana dalam konstitusi, perbedaan dimusyawarahkan dalam sebuah forum, untuk mencapai mufakat. Bila tidak maka akan dilakukan opsi voting. Voting inilah menentukan sebuah kebijakan. Jadi dalam demokrasi, pendapat minoritas mengikuti kesepakatan yang telah dicapai dalam forum yang telah disepakati bersama. Dalam kasus Ahmadiyah inipun sudah ada kesepakatan dengan menunjuk Majelis Ulama Indonesia, sebagai sebuah Institusi dimana terhimpun berbagai ulama ahli dalam memutuskan kesepakatan dari perbedaan-perbedaan yang terjadi. Bahkan, mayoritas Ulama-ulama seluruh dunia dan para Ilmuwan juga Ahli Tafsir seluruh dunia, telah mensepakati bahwa Nabi sekaligus Rosul Terakhir Umat Islam adalah Nabi Muhamad saw.
Apalagi kalau kita merujuk bada konstitusi, Kebebasan Beragama, kan harus diatur lebih lengkap dan jelas.
Dalam hal perbedaan tatacara ritual keagamaan Islam, maka Lahirlah Kesepakatan sebagaimana tertuang dalam SKB 3 Menteri. Bila ini diingkari dan tidak ditaati oleh salah satu pihak..., maka semuapun akan menduga apa yang akan terjadi.
Disinilah kunci dan awal, bagaimana Polisi atau Komnas HAM, mencari akar masalahnya. Jadi janganlah terbalik.
Bila salah analisa penyakit, maka salah pula obatnyaq, bagaimana penyakit akan sembuh? yang terjadi jelas akan bertambah parah..